Academic
Pemimpin Gereja, Moratorium, Organisasi Gereja dan HAM
Outline: Buku ini merupakan hasil penelitian Puslitbang Kehidupan Keagamaan tahun 2014, yang dilakukan di Medan, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Manado dan Jayapura. Penelitian ini ingin menjawab empat hal, yaitu pandangan pemimpin gereja tentang pengaturan organisasi gereja, pemikiran visioner tentang Keharmonisan dan Kedamaian Beragama, dan relasi pemimpin gereja dan masyarakat sekitar dan Kementrian Agama. Lahirnya Undang-Undang No. 17 tahun 2013 tentang organisasi Kemasyarakatan cukup mengkhawatirkan. Karena dimungkinkan terjadinya pendaftaran denominasi gereja baru kepada Kementrian Dalam Negeri. Berdasarkan UU ormas tersebut, sebuah denominasi bisa disahkan selama berasaskan Pancasila, tidak peduli apapun keagamaannya. Kementrian Dalam Negeri hanya melakukan seleksi tentang paham kebangsaan, bukan keagamaan. Berdasarkan hasil penelitian dan seminar hampir semua informan dan pembicara sepakat bahwa organisasi yang akan mendaftar ke Kementrian Dalam Negeri, harus mengantongi surat rekomendasi dari Dirjen Bimas Kristen. Berdasarkan Surat Edaran Dirjen Bimas Kristen No. Dj.III/BA/330/6319/2006, tanggal 29 Desember 2006, terhdai moratorium pendaftaran gereja induk yang baru. Terhadap Kebijakan ini hampir semua pemimpin gereja setuju terhadap adanya moratorium tersebut, hanya sebagian kecul yang tidak setuju. Karena dianggap bertentangan dengan HAM. Adanya moratorium pendirian organisasi gereja induk baru, karena dianggap sudah terlalu banyak, sehingga memungkinkan terjadinya persaingan yang tidak sehat antar denominasi, yang akhirnya dapat mengganggu Kerukunan Intern Umat Kristen. Untuk menciptakan kerukunan di kalangan internal umat Kristen para pemimpin gereja menganjurkan agar pemimpin gereja dan jemaatnya, selalu menghargai doktrin teologis masing-masing; menjunjung tinggi kesepakatan yang telah dibuat bersama; saling menghormati terhadap perbedaan yang ada; mengaktifkan forman-forman yang sudah ada seperti Badan Musyawarah Antar Gereja (BAMAG). Juga perlu dikembangkan etika pelayanan para gembala dan pendeta dari berbagai aliran gereja agar sepakat untuk tidak melakukan pencurian umat dan gereja lain. Pemerintah perlu melakukan pertemuan rutin dengan para gembala/pendeta agar ada kesepakatan bersama dalam memberikan pelayanan pada jemaat, sehingga kehadiran gereja sungguh-sungguh menjadi berkat dimanapun ia tumbuh, bukan konflik antar gereja. Secara umum hubungan antara pihak gereja dengan Bimas Kristen, baik di level wilayah maupun kota, berjalan dengan baik. Hal ini diwujudkan dengan adanya Kanwil dalam hal ini Pembimas Kristen terhadap gereja, seperti dalam hal administrasi dan beberapa kegiatan Kemenag yang mengundang beberapa gereja untuk terlibat. Namun beberapa gereja sangat mengharapkan Pembimas Kristen yang selama ini hanya mengundang melalui lembaga keagamaan seperti BAMAG, PGKP, PGI, dan lain-lain bisa mensosialisasikan program kepada gereja lokal yang menginduk ke organisasi gereja induk secara langsung seperti GMIM, GPdi, KGPM, GMIT, dan lain-lain. Beberapa rekomendasi yang disampaikan antara lain: perlu sosialisasi mengapa moratorium pendaftaran organisasi gereja baru perlu dilakukan; perlu ada penertiban terhadap organisasi gereja yang belum terdaftar, atau sudah terdaftar di Dirjen Bimas Kristen tingkat Provinsi. Perlu dilakukan kordinasi antar instansi dalam pelaksanaan UU No. 17 tahun 2013. Buku ini perlu dibaca oleh para pemimpin gereja, para aparat Pembimas Kristen di Kanwil Kementrian Agama Provinsi dan Kabupaten/Kota serta instansi terkait.
Tidak tersedia versi lain